Refleksi atas pemahaman elemen akhlak kepada manusia pada Profil Pelajar Pancasila dan tips bagi guru untuk mewujudkannya
Saya suka untuk memulai tulisan ini dengan menceritakan sedikit kisah tentang dua orang hebat pada zamannya. Secara kebetulan kedua tokoh ini hidup di era yang sama tetapi di tempat yang berbeda. Menariknya, keutamaan dua tokoh ini telah menggugah para pelaku industri perfilman sehingga telah mengangkat kisah hidup mereka pada layar lebar.
Tahun 2019 silam di Amerika diliris sebuah film biografi yang berjudul Harriet. Film itu diangkat dari kisah nyata seorang aktivis yang menentang perbudakan. Film itu menceritakan tentang Harriet Tubman (1820-1913) yang lahir sebagai seorang budak di wilayah selatan Amerika Serikat. Dari banyak cerita seputar kehidupan Harriet Tubman, ada secuil fakta mengagumkan sehingga ia begitu dihormati dan diakui sebagai seorang tokoh penentang praktik perbudakan. Dikisahkan bahwa ia pernah berhasil membebaskan lebih dari 300 budak. Tercatat bahwa selama hidupnya, ia telah melakukan 19 misi pembebasan terhadap saudara-saudaranya yang diperbudak. Meski ada dalam situasi bahaya bila tertangkap, ia tetap melangsungkan misi penyelamatan itu.
Sebelas tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2008 pernah juga dirilis sebuah film drama yang berjudul Florence Nightingale yang diangkat dari dari kisah nyata seorang perawat yang bekerja selama Perang Crimea di tahun 1853-1856. Perang Crimea sendiri adalah perang antara Kekaisaran Rusia dengan Sekutu. Selama perang itu, banyak tantara Inggris yang tewas karena penyakit maupun trauma. Florence Nightingale (1820-1910) adalah pemimpin regu perawat yang ditugaskan di Turki (salah satu medan pertempuran pada waktu itu). Florence dikenal sebagai Lady with the Lamp karena ia tidak pernah letih merawat orang-orang sakit dan korban pertempuran pada waktu itu. Karyanya tidak saja telah menyelamatkan banyak nyawa tetapi telah mengangkat reputasi pekerjaan perawat di tengah masyarakat kala itu. Dengannya, ia berhasil meletakkan dasar-dasar keperawatan modern yang masih relevan sampai hari ini. Menariknya, ketika kembali dari tugas itu Florence tidak pernah tertarik dengan macam-macam penghargaan untuk dirinya sendiri. Bahkan ia menolak diwawancarai atau difoto sepanjang sisa hidupnya.
Dua film itu sangat kaya dengan pesan moral. Menurut saya, rugilah bila kita tidak mengambil waktu senggang untuk menonton film-film tersebut. Memang film-film itu tidak terlalu menarik bagi penonton yang menggemari film ber-gendre action. Tetapi bagi saya, kedua film itu sangat indah meski latar waktunya kuno.
Saya tidak akan berlama-lama menceritakan kedua film tersebut. Karena tujuan dari saya menceritakannya bukanlah untuk membuat resensi film. Kisah dua orang hebat itu hanyalah pengantar bagi kita untuk mulai melakukan refleksi. Yaitu, tentang motivasi apa yang menggerakkan mereka sehingga mau melakukan perbuatan-perbuatan besar yang tetap dikenang dan dikagumi sampai pada hari ini.
Menjadi altruis dalam hidup
Kebanyakan orang sekarang berpegang pada prinsip take and give dalam hidup sehari-hari. Tidak ada pengorbanan tanpa mendapatkan imbalan. Atau tidak mungkin dapat memberikan sesuatu apabila tidak ada kepastian akan memperoleh keuntungan. Jarang ditemui orang yang mempunyai prinsip “hanya memberi tak harap kembali” seperti sepenggal lirik lagu anak yang melegenda karya Mochtar Embut itu. Apabila ada orang yang berpegang pada prinsip “memberi”, orang akan cenderung curiga dan menilainya sebagai orang aneh karena berbeda dengan orang kebanyakan.
Sesungguhnya setiap orang punya kecenderungan untuk memiliki salah satu model dari dua model diri yaitu altruis ataupun menjadi egois. Model diri itu kemudian lebih sering dikenal sebagai sifat kepribadian. Dari dua model kepribadian itu, kita sepakat untuk mengakui bahwa kita lebih menyukai pribadi yang altruis daripada egois.
Altruis adalah sifat peduli pada keselamatan orang lain tanpa mengharapkan apapun sebagai balasan. Pribadi altruis adalah pribadi yang tidak mementingkan diri sendiri. Pribadi altruis menemukan bahwa aktivitas mencintai orang lain adalah penghargaan itu sendiri. Pribadi altruis tidak mementingkan apa yang dapat diterimanya sebagai konsekuensi dari cintanya. Memang benar bahwa kadangkala ada orang yang menunjukkan rasa pedulinya kepada orang lain untuk mendapatkan penghargaan. Ada juga yang berharap untuk mendapat balasan cinta. Motivasi yang terakhir ini bukanlah kualitas pribadi altruis yang dimaksudkan.
Melatih altruis di sekolah
Ingatlah masa-masa kita sekolah dulu! Ada pengalaman dimana kita sudah belajar untuk menjadi pribadi altruis. Pasti kita ingat dulu bahwa kita selalu mengerjakan tugas kebersihan kelas agar teman-teman bisa belajar dengan nyaman di kelas yang bersih. Atau kita berinisiatif membersihkan papan tulis agar guru dapat memanfaatkannya, kita membersihkan halaman sekolah agar semua warga sekolah bisa menikmati lingkungan sekolah yang bersih, dan banyak pengalaman seperti itu. Bertolak dari pengalaman-pengalaman itu, sejatinya sekarang kita menyadari (meski agak terlambat) bahwa proses pendidikan yang sudah kita lalui adalah untuk melatih kita menjadi pribadi yang altruis.
Memang ada kesempatan dimana kita dengan penuh antusias mengerjakan semua pekerjaan yang bermanfaat bagi orang lain. Tetapi ada waktunya juga kita perlu didorong oleh orang lain untuk mengerjakan itu semua. Dorongan dari orang lain (dari guru atau teman) dapat berupa perintah atau permintaan tolong. Kadang kala guru juga harus memberi motivasi ekstra agar kita mau melakukan perbuatan-perbuatan positif seperti itu.
Berdasarkan pengalaman itu, dapatlah kita simpulkan bahwa salah satu tujuan dari proses pendidikan dan pembelajaran adalah melatih diri murid untuk berkembang dalam kualitas pribadi. Salah satunya yaitu menjadi pribadi yang altruis. Pertanyaan refleksi yang harus dijawab sekarang, apakah menghasilkan pribadi-pribadi altruis melalui pendidikan masih urgent? Apakah masyarakat Indonesia masih membutuhkan pribadi-pribadi yang peduli dan mau mendedikasikan hidupnya bagi kebaikan banyak orang?
Altruis dan Profil Pelajar Pancasila
Tentu kita merindukan murid-murid yang memiliki dorongan dalam diri untuk melakukan hal-hal baik di sekolah. Kita mengharapkan ada murid-murid yang melakukan hal-hal baik seperti yang dulu kita lakukan waktu sekolah; mau mengerjakan kebersihan kelas untuk kebaikan teman-temannya, dan praktik baik sejenisnya yang dilakukan untuk menunjukkan rasa cinta bagi teman-temannya. Kita berharap ada murid-murid yang berinisiatif untuk melakukan tindakan-tindakan kecil yang dapat bermanfaat bagi orang lain. Murid-murid yang mampu membawa manfaat bagi orang lain.
Kerinduan kita tentunya menjadi representasi dari kerinduan dan harapan bangsa Indonesia seluruhnya. Indonesia butuh generasi penerus yang memiliki kualitas pribadi dan mampu menunjukkan rasa cintanya sebagai anggota masyarakat. Di masa depan, Indonesia masih butuh orang-orang altruis yang rela berkorban demi kebaikan banyak orang.
Kerinduan bangsa Indonesia itu sudah diterjemahkan dalam proyeksi pendidikan Indonesia yakni mewujudkan Profil Pelajar Pancasila. Ini bukanlah slogan kosong, melainkan sebuah proyek besar yang dengannya proses pendidikan mendapat rohnya. Profil Pelajar Pancasila adalah produk kepribadian warga Indonesia yang diharapkan terwujud melalui proses pendidikan dan pembelajaran. Mewujudkan Profil Pelajar Pancasila menjadi cita-cita besar yang perlu direalisasikan melalui kinerja semua stakeholder dunia pendidikan.
Menjadi pribadi altruis adalah salah satu bagian dari proyek yang dicanangkan pada keseluruhan Profil Pelajar Pancasila. Menjadi pribadi altruis merupakan salah satu kualitas yang hendak diwujudkan melalui salah satu dimensi dari Profil Pelajar Pancasila yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia. Terutama pada dimensinya yaitu akhlak kepada manusia, sub-elemen: berempati kepada orang lain. Melalui dimensi ini, setiap murid pada akhir fase pendidikan yang dilaluinya diharapkan dapat makin menumbuhkan kemampuan untuk berempati pada orang lain. Bukan saja kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, tetapi harus bermuara pada perbuatan-perbuatan baik yang manfaatnya dapat dirasakan oleh orang lain.
Guru sebagai Role model
Melatih murid menjadi pribadi yang altruis memang tidak mudah. Dibutuhkan kerja keras dari guru untuk mewujudkan itu. Guru tidak cukup hanya mengajarkannya dengan kata-kata saja. Ada strategi-strategi yang perlu dikembangkan oleh guru. Terutama strategi “memberi contoh”. Bagaimana guru dapat memberi contoh bagi murid untuk melatih mereka berkembang menjadi pribadi yang altruis?
Ada empat tips yang dapat dipraktikkan oleh guru sebagai contoh yang dapat menguatkan usahanya untuk melatih murid menjadi pribadi yang altruis. Pertama, tawarkan bantuan tanpa mengharapkan atau menerima imbalan. Ke dua, tunjukkan kepedulian kepada sesama, termasuk orang yang tidak dikenal. Ke tiga, tidak menceritakan kepada orang lain tentang perbuatan baik atau pertolongan yang pernah diberikan kepada orang lain. Ke empat, jadikan tindakan menolong itu lebih berharga dari uang, waktu atau imbalan lainnya.
Bangsa Indonesia masih merindukan hadirnya pribadi-pribadi altruis di masa depan. Hadirnya generasi muda dengan kepribadian unggul yang mau mendedikasikan hidupnya bagi keselamatan dan kebahagiaan semua orang menjadi penantian bersama. Dalam rangka itu, guru mempunyai misi mulia: bekerja secara total melalui keteladanan dan pengajaran untuk mencetak generasi penerus bangsa yang altruis.
Referensi
Young Person’s Character Education Handbook. Jist Works, 2005.
Nurani Soyomukti. Teori-Teori Pendidikan. Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2015
Sumadi Suryabrata. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo, 2004
Howard Gardner. Five Minds For The Future. Harvard Business School Press, 2007
Platform Merdeka Mengajar. Pelatihan Mandiri Topik: Profil Pelajar Pancasila.
Artikel ini ditulis oleh Novie Rompis, Guru Penggerak Angkatan 3, Pengawas Sekolah pada Dikbud Daerah Kota Tomohon