Mewujudkan Profil Pelajar Pancasila merupakan tugas paling utama dari setiap guru di Indonesia kini. Menghadirkan pribadi Indonesia yang berdaya saing secara global di masa depan namun memiliki kecintaan terhadap nilai-nilai luhur bangsa adalah hasil akhir dari proses pendidikan dan pembelajaran yang sejatinya dilakoni oleh setiap guru di negeri ini. Skenario terbaik yang seharusnya menjadi kerangka kerja untuk mencapai cita-cita ini adalah student centered.
Sebagai subjek utama dalam pendidikan dan pembelajaran, semua layanan pendidikan dan pembelajaran harus diarahkan pada peningkatan kualitas belajar peserta didik juga peningkatan kualitas pribadi peserta didik. Seperti menulis pada selembar kertas; sekilas apa yang dikesankan oleh para “pengamat pendidikan” bahwa proses yang demikian sangat mudah dilaksanakan. Namun pada kenyataannya untuk mewujudkan proses terbaik demi hasil maksimal bukanlah persoalan mudah. Ada tantangan yang masih menghambatnya. Tantangan terutama datang justru dari para guru sebagai pelakon. Banyak guru yang belum siap untuk mengoperasikan paradigma baru. Guru masih nyaman pada cara kerja berdasar paradigma lama.
Paradigma dalam konteks ini adalah cara pikir guru yang melihat dirinya sebagai pusat dari pendidikan dan kegiatan pembelajaran. Thomas Khun, seorang Filsuf dan Fisikawan Amerika Serikat pernah mengemukakan pendapatnya tentang paradigma (paradigm shift dalam bukunya: The Structure of Scientific Revolution), bahwa paradigma lama akan digantikan oleh paradigma baru apabila paradigma baru sudah teruji keberhasilannya. Memang butuh waktu bagi setiap paradigma agar dapat dibuktikan secara luas dalam mengatasi pelbagai problem. Dan hanya pada saat pembuktian itu terjadi, sebuah paradigma akan diterima.
Benarlah bahwa guru susah move on karena belum melihat pembuktian keberhasilan paradigma baru itu. Walaupun demikian, tidak ada kesempatan untuk tawar-menawar lagi. Setiap guru di negeri ini harus mulai melakukan perubahan paradigma jika mau mendukung tercapainya visi Profil Pelajar Pancasila. Perubahan paradigma yang dimaksud terutama ada pada cara pandang guru terhadap proses pembelajaran. Paradigma lama masih melihat peserta didik sebagai objek. Dan berkeyakinan bahwa guru satu-satunya pihak yang dapat membantu peserta didik belajar.
Penegasan penting yang dapat menjadi starting point perubahan paradigma guru yaitu, guru bukanlah pusat dari proses pendidikan dan pembelajaran. Pandangan lama bahwa guru dapat mengontrol peserta didik beserta semua proses pendidikan dan pembelajaran adalah pandangan yang perlu digeser. Gagasan yang harus mendasari cara kerja guru kini adalah peserta didiklah yang paling utama. Semua yang diperankan oleh guru harus terarah pada kebaikan peserta didik. Peserta didik dengan otonominya perlu dibantu secara unik (masing-masing) untuk mencapai potensi terbaik dari diri mereka. Karena itu, pentinglah guru mengubah pola relasinya dengan murid. Di antara guru dan murid harus ada hubungan dialektis yang berkelanjutan dan mendalam. Interaksi positif antara guru dan murid menjadi prasyarat untuk menjamin proses pembelajaran yang maksimal seperti yang diharapkan. Satu resep jitu yang dapat mengawalinya adalah “perubahan cara pikir” dan tentu selanjutnya berdampak pada implementasinya.
Proses pendidikan dan pembelajaran yang difasilitasi oleh guru harus inklusif. Tak ada satu peserta didik pun yang dapat dibiarkan terabai potensinya. Setiap peserta didik dengan keunikan dan potensi yang berbeda-beda menciptakan tantangan tersendiri bagi guru. Semua peserta didik punya hak yang sama untuk dibantu mencapai perkembangan diri secara optimal.
Ada negasi yang kemudian menguat bahwa hal mendidik bukanlah proses gampang seolah hanya mengisi guratan-guratan baru pada kertas kosong. Pastinya guru hanyalah fasilitator; yang dengan tugasnya dapat membantu peserta didik untuk memperjelas guratan-guratan suram yang sudah ada sebelumnya (bdk. Pemikiran KHD tentang kodrat alam dari setiap peserta didik). Setiap peserta didik adalah pribadi merdeka yang layak dibantu sesuai kebutuhan mereka, bukan sesuai kebutuhan guru. Guru bukanlah superior.
Peran guru dalam proses pendidikan dan pembelajaran memang tak tergantikan. Kecanggihan teknologi akan membantu peserta didik belajar. Tapi tanpa guru hal itu akan menjadi proses yang berat; dan bersama guru hal itu akan menjadi proses yang menarik. Hal ini berarti bahwa lepas dari kekurangan yang dimiliki guru serta kewajibannya untuk meng-up grade skill; guru adalah istimewa. Tentu keistimewaan guru tidak membuat guru bebas dari kewajiban untuk meningkatkan kompetensinya. Justru keistimewaan peran guru sekaligus menyertakan kewajiban baginya untuk selalu meningkatkan kompetensi. Guru harus memiliki kompetensi maksimum. Salah satu yang penting dari banyak kompetensi yang seharusnya dikembangkan oleh guru adalah kemampuan mengelola sumber daya. Kompetensi ini terbilang baru diperkenalkan.
Kompetensi ini meliputi kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia demi pengembangan sekolah dan pembelajaran. Kompetensi ini berakar pada cara pikir baru terhadap komunitas, dalam hal ini sekolah (untuk selanjutnya dalam tulisan ini, “komunitas” berarti sekolah). Ada tradisi berpikir yang biasa fokus pada kekurangan dan masalah. Selama ini ada kecenderungan untuk memanfaatkan sumber daya dari luar komunitas untuk membantu perkembangan komunitas sendiri; merasa perlu “dikasihani” dan dibantu oleh pihak luar sekolah (pemerintah, orang tua siswa, atau pihak lainnya). Selama ini ada semacam sikap mengabaikan asset-asset penting yang dimiliki komunitas karena selalu bergantung dari pihak lain. Hal ini bisa saja disebabkan karena guru (atau kepala sekolah) tidak membekali diri dengan latihan-latihan yang sesuai untuk dapat mengelola sumber daya pendukung yang sudah dimiliki oleh komunitas demi keberhasilan proses pendidikan dan pembelajaran. Secara umum guru berorientasi pikir pada kekurangan-kekurangan atau permasalahan (deficit-based thinking) saja.
Sudah saatnya guru kini beralih fokus pikir pada kekuatan atau asset-modal (asset based thinking), sehingga upaya memaksimalkan bantuan terhadap peserta didik tidak dihalangi oleh tantangan. Tentang asset yang dapat diberdayakan, Green dan Haines (dalam Asset building and community development, 2002) mengemukakan identifikasi tentang tujuh asset atau modal. Tentunya konsep asset ini harus dihubungkan dengan cara berpikir yang berdasar pada kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh komunitas; dan hal ini dapat dimanfaatkan juga oleh sekolah (sebagai komunitas) untuk meningkatkan produktivitas layanan pendidikan dan pembelajaran. Asset-asset itu adalah manusia, sosial, fisik, lingkungan, finansial, politik, agama dan budaya.
Setiap guru sejatinya memiliki kompetensi unggul untuk mengelola asset-asset itu. Dengan kata lain, guru harus menjadi pemimpin dalam mengelola sumber daya atau asset-asset pendukung proses pendidikan dan pembelajaran.
Kompetensi guru sebagai pemimpin pengelola sumber daya atau asset dapat menjadi pendukung bagi guru untuk menjalankan peran pentingnya untuk mewujudkan pembelajaran peserta didik yang makin berkualitas. Dengan kecakapan itu, guru dapat menemukan solusi terkait kekurangan-kekurangan yang ada. Contohnya, dalam kasus tertentu ada guru yang pesimis jika peserta didiknya dapat menjadi pemenang olimpiade karena sarana yang dimiliki sekolah sangat minin. (Barangkali) Guru itu lupa bahwa masih ada sumber daya lain yang dapat dimanfaatkan untuk menutup kekurangan itu. Memang sumber daya fisik tidak maksimum, tetapi masih ada sumber daya lain yang dapat dikembangkan untuk menutupi kekurangan itu. Dalam contoh ini, guru dapat memaksimalkan asset politik. Dengan lobi-lobi terhadap pihak terkait terutama dengan pemerintah (otonomi), ada harapan bahwa bantuan-bantuan untuk pengembangan fasilitas fisik akan terpenuhi kedepan.
Hal yang sama juga dapat berlaku untuk asset-asset lain. Contoh, guru masih bisa memanfaatkan asset sosial. Guru dengan kemampuan komunikasi positif dapat mengajak pihak-pihak yang peduli untuk memberi dukungan terhadap program-program positif di sekolah, mengajukan proposal CSR ke perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar sekolah, membangun kolaborasi dengan stakeholder, dan lain sebagainya.
Singkatnya, rahasia mengalahkan tantangan dan hambatan proses pendidikan dan pembelajaran ada pada person guru. Semakin kompeten sang guru, maka hambatan semakin minim. Semakin kompeten seorang guru, potensi mengembangkan peserta didik semakin besar. Proses pendidikan dan pembelajaran yang efektif ada di tangan guru, meski guru bukan subjek utamanya. Guru tidak mesti terjebak pada sikap apatis karena berhadapan dengan tantangan-tantangan. Guru harusnya bijak untuk menyiasati persoalan-persoalan yang menghadang usahanya untuk memerdekakan peserta didiknya. Guru dengan kemerdekaannya, harus mengembangkan diri. Guru harus melihat dirinya sebagai modal terbesar yang dapat mendukung semua cita-cita baiknya bagi perkembangan setiap peserta didiknya.
Artikel ini telah tayang di Kompasiana.com pada tanggal 11 Maret 2022 oleh Novie Rompis, M.Pd., Guru SMPN 2 Tomohon, Kota Tomohon